Pembatasan Wilayah Pemasaran adalah PELANGGARAN terhadap UNDANG-UNDANG, merugikan Negara, merugikan Pedagang, terutama merugikan Pelanggan. "Pembatasa Wilayah Pemasaran Pulsa" merupakan tindakan MONOPOLI penjualan pulsa agar operator seluler bisa mengatur harga pulsa di pasar

Monday, February 15, 2016

UU Perdagangan Kabar Baik Bagi Pedagang Pulsa

Clusterisasi wilayah pemasaran yang dilakukan oleh dealer telah menjadi momok yang menakutkan dan menyengsarakan bagi sebagian besar pedagang pulsa, terutama pemain server dengan modal kecil, dan menjadi kenikmatan bagi sebagian besar pemodal besar.

Salah satu aturan yang diterapkan oleh dealer adalah bahwa pedagang tidak boleh menjual pulsa ke nomor-nomor yang berada di luar wilayah cluster yang dikuasai dealer bersangkutan. Aturan lain adalah bahwa pedagang hanya boleh membeli stok pulsa di satu dealer yang telah ditunjuk, dengan kata lain tiap dealer memonopoli wilayah yang (katanya) “ditunjuk” oleh operator seluler untuk dikuasainya.

Dalam prakteknya, aturan-aturan ini hanya disampaikan oleh pihak dealer maupun pihak operator seluler secara lisan kepada para pedagang, kenapa demikian? Kuat dugaan dealer maupun operator seluler sadar dan paham bahwa aturan yang mereka berikan kepada pedagang merupakan pelanggaran hukum, terutama undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam undang-undang ini praktek pembagian wilayah pemasaran sangat dilarang, dan sanksinya adalah pidana.

Dealer maupun operator seluler sangat paham dan menyadari bahwa mereka sedang melakukan pelanggaran hukum, jadi membuat aturan secara tertulis sama saja dengan menyerahkan diri mereka untuk diadili.

Lalu apa hubungannya dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan ?

Dalam undang-undang ini perdagangan barang/jasa dengan menggunakan sistem elektronik diatur secara khusus. Kita memahami bahwa penjualan pulsa elektronik sepenuhnya menggunakan sistem elektronik.

Dalam pasal 65 ayat 1 disebutkan :
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.”

Dalam hal ini, Dealer sebagai pelaku usaha yang memperdagangkan pulsa seluler bertanggung jawab untuk menyediakan “Data” dan “informasi” secara “lengkan dan benar”.

Adapun “data” dan “informasi” yang harus disediakan secara terperinci disebutkan pada ayat 4, yaitu :
a. identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi;
b. persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
c. persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
d. harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
e. cara penyerahan Barang.

Bila tidak menyediakan data dan informasi tersebut dealer bisa mendapat sanksi pencabutan ijin sebagaimana tertulis pada ayat 6. Dan bisa dipastikan sampai hari ini, tidak ada dealer yang menyediakan informasi yang LENGKAP dan BENAR tentang persyaratan teknis perdagangan pulsa seluler yang mereka perdagangkan.

Bila diperhatikan, isi keseluruhan pasal 65 ini, dalam kasus dealer pulsa seluler, setidaknya menyatakan bahwa dealer tidak bisa lagi hanya menyampaikan aturan-aturan terkait perdagangan pulsa seluler hanya secara lisan. Aturan yang disampaikan secara lisan tentu akan sulit memenuhi kriteria “LENGKAP dan BENAR”.
Sebaliknya, bila dealer membuat aturan tertulis, maka mereka telah memberikan bukti kuat tentang pelanggaran terhadap undang-undang lain.

Dengan demikian, setiap pedagang pulsa berhak mendapatkan informasi tentang persyaratan teknis perdagangan pulsa seluler dari dealer secara LENGKAP dan BENAR, yaitu dalam bentuk tertulis, bukan lisan.

Jadi, aturan tentang CLUSTER, KPI dan MONOPOLI dealer atas wilayah clusternya harus dituangkan dalam bentuk tertulis, dan setiap pedagang yang memegang kartu Mkios, Mtronik, Dompul dan sebagainya harus mendapat setidaknya satu salinan dari aturan tersebut dari dealer masing-masing.

Kita berharap dengan adanya undang-undang ini, tidak ada lagi pembodohan dan tindak kesewenang-wenangan oleh pengusaha- pengusaha besar terhadap pedagang kecil, sebagaimana selama ini dilakukan oleh para distributor pulsa seluler terhadap pedagang pulsa, terutama terhadap para pemain server bermodal kecil.

Monday, March 17, 2014

Pengecer jual pulsa telkomsel dengan “satu harga” 7000 dan 12000. UNTUNG atau RUGI ???




Belakangan ini muncul satu gagasan untuk membuat kesepakatan harga pulsa Telkomsel di tingkat pengecer dengan posisi harga 7000 dan 12000 untuk nominal 5000 dan 10000. Belum jelas apakah gagasan ini berasal dari suatu kesepakatan atau hanya ide perseorangan yang diangkat ke publik, namun yang pasti gagasan ini telah beberapa kali diposting di group PPPSI daerah maupun group DPP oleh beberapa anggota yang berbeda. Sementara di group lain gagasan ini bahkan menjadi fokus utama.



Tulisan ini tidak bermaksud untuk “menyetujui” atau “menolak”, melainkan hanya memberi pandangan atau pendapat tentang gagasan tersebut dan sama sekali jauh dari mempengaruhi keputusan para pedagang pulsa apalagi pembuat gagasan.

“Bersama P3SI mari kita wujudkan harga yang stabil dan kondusif bukan persaingan, silahkan bergabung di P3SI wilayah masing2 kita satu KOMANDO bukan jadi bumerang biarkan ada CLUSTER kita jalan dengan MODERN CHANEL bila ada SERVER YANG JUAL HARGA MURAH berarti dak bisa diajak kerjasama demi kepentingan bersama, ketentuan harga dari pusat”

Kalimat ajakan di atas diambil dari postingan group DPP PPPSI, kalimat ini cukup jelas menggambarkan gagasan tersebut, dan sengaja saya kutip di sini, hanyalah sebagai bahan untuk kita pelajari bersama-sama, sehingga kelak bisa menjadi bahan pertimbangan bagi kita semua dalam menyusun langkah untuk mencapai tujuan awal berdirinya PPPSI, yaitu : “Menghentikan clusterisasi pemasaran pulsa seluler”.

            Dalam perdagangan, “keuntungan” tentu menjadi hal yang paling penting. Keuntungan berasal dari selisih harga jual dikurangi harga modal. Harga modal sendiri bisa dipengaruhi oleh harga pembelian dan biaya operasional. Dalam hal ini, harga pembelian pulsa Telkomsel dari dealer ke pengecer berada di kisaran 5250 dan 10250 untuk nominal 5000 dan 10000, dan harga eceran di pasaran berkisar 6000 dan 11000. Bila kita mengabaikan biaya operasional, maka keuntungan yang didapat pengecer adalah 750 tiap transaksi.

            Berdasarkan gagasan postingan di atas, dengan menjual 7000 dan 12000 tentu keuntungan pengecer menjadi 1750 per transaksi. Mungkinkah ???
Mari kita simak dulu, apa yang diharapkan dealer dan operator seluler dengan clusterisasi. Sama seperti pengecer, dealer juga mengharapkan keuntungan yaitu selisih harga penjualan ke pengecer dikurang biaya modal.

Perbedaan “kondisi” dealer dengan pengecer adalah, dealer memiliki hak monopoli untuk menjual pulsa di wilayah clusternya, dengan kata lain dealer tidak punya saingan di pasar bersangkutan. Sesama dealer sangat mungkin untuk membuat kesepakatan harga jual, bahkan kesepakatan harga jual setingkat nasional, dan ini memang sedang terjadi, karena mereka telah mempunyai wilayah monopoli sendiri, mereka tidak saling bersaing, maka tidak perlu pikir panjang untuk mengikuti “harga kesepakatan” tersebut.

Sementara pengecer adalah saingan bagi pengecer lain, dan dalam kenyataannya, perbedaan harga jual di antara pengecer sangat berpengaruh kepada para pelanggan mereka. Selisih harga 500 rupiah saja bisa memindahkan pelanggan ke pengecer lain.

Sekarang mari kita berandai-andai ! Sebuah perkumpulan pedagang pulsa bernama X yang semua membernya berdomisili dalam satu daerah kabupaten sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan program “satu harga”, berhasil mengajak semua membernya untuk melakukan aksi jual “satu harga” 7000 dan 12000. Lalu dalam satu daerah kecil misalnya di sebuah gang terdapat 5 outlet pengecer pulsa, 4 diantaranya adalah member X sedangkan outlet yang satu non member. Karena 4 outlet lain menjual pulsa dengan harga 7000 dan 12000, sementara outlet yang satunya tetap menjual harga 6000 dan 11000 karena outlet tersebut merasa tidak terikat dengan aturan X. Mungkin dalam beberapa hari, keempat outlet member X belum merasakan pengurangan pembeli, namun dalam jangka panjang bisa dipasatikan sebagian besar pelanggan mereka akan pindah ke penjual termurah, dan outlet non member X pasti akan panen pelanggan baru. Alih-alih untung, 4 outlet member X tersebut malah buntung.

             Lalu akan timbul pertanyaan, apakah keempat member X bisa memaksa outlet yang bukan member X mengikuti harga sesuai aturan perkumpulan X ? Atau, apakah perkumpulan X bisa memaksa setiap outlet di wilayahnya untuk masuk dan mengikuti aturan perkumpulan X ? Silahkan pembaca jawab sendiri.
Lalu bagaimana bila ada member X yang tidak mau mengikuti aturan “satu harga”, apakah bisa dikenakan sanksi? Akan sulit sekali memberikan sanksi kepada pedagang, karena selain ikatan emosional, para member X sama sekali tidak memiliki ikatan perjanjian yang bisa memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang diberlakukan oleh X.
Berbeda halnya dengan dealer, semua dealer mempunyai ikatan perjanjian dengan produsen. Ketika satu dealer melanggar aturan, maka produsenlah yang memberikan sanksi, sementara semua dealer bergantung kepada “kemurahan hati” produsen.

            Kita masuk ke “andai” berikutnya. Kita anggap saja perkumpulan X berhasil mengajak semua pedagang pulsa se kabupaten menjadi membernya, dan semua member ini patuh dengan aturan “satu harga” 7000 dan 12000. Dari pembahasan kita di atas, bisa ditarik satu kesimpulan bahwa clusterisasi dibuat untuk tujuan meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi dealer.
            Setelah berhasil mengajak satu kabupaten, perkumpulan X melebarkan sayap ke kabupaten lain, propinsi lain, dan akhirnya pedagang pulsa se Indonesia sepakat dengan “satu harga” 7000 dan 12000 (saya tahu dalam hati anda sedang mengatakan “mana mungkin”). Tapi kita memang sedang berandai-andai jadi anggap saja mungkin. Kita lanjutkan ya….
Akhirnya semua pedagang pulsa merasa senang, walau hanya beberapa saat. Kenapa ? Dealer melihat harga pasar eceran sudah naik, saatnya mengambil keuntungan lebih, maka dealer sepakat menaikkan harga jual ke pengecer menjadi 6250 dan 11250. Sompret…. Mungkinkah ? Bisakah ? Bolehkah ? Kenapa tidak !!!! Dealer adalah pemegang hak monopoli penjualan pulsa Telkomsel. Mereka bisa melakukan apa saja demi meningkatkan keuntungan. Setahu saya, harga pembelian dari produsen ke dealer adalah nilai nominal dikurang 4 persen yang diberikan kepada dealer dalam bentuk “cash back”. Jadi harga pembelian dealer adalah 4600 dan 9600 dan tidak pernah naik, yang mungkin naik adalah biaya operasional, jadi bayangkan keuntungan yang mereka dapatkan bila menjual ke pengecer dengan harga 6250 dan 11250.

Pengecer tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa gigit jari, khayalan membeli mobil baru harus ditunda. Apakah masih mau buat aturan “satu harga” 8000 dan 13000 ???????

            Saat situasi seperti ini terjadi, siapa yang mau bertanggung jawab terhadap “tangisan” pedagang pulsa? Apakah para pengurus perkumpulan X sudah memsiapkan  solusinya? Atau akan lari membiarkan para pedagang meratapi nasib. Mari kita pikirkan bersama-sama, apa yang akan kita dapat dengan program “satu harga”.

Pasar yang baik adalah pasar dengan persaingan sempurna. Segala bentuk monopoli atau penetapan harga jual hanya akan menghancurkan pasar itu sendiri,  dan yang diuntungkan hanyalah pemegang hak monopoli. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia dengan tegas melarang praktek monopoli dan praktek penetapan harga, sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pelanggaran Hukum Harus Dilawan Dengan Hukum

Bisa dipahami, bahwa anjuran-anjuran di atas merupakan salah satu bentuk semangat juang dalam mencapai tujuan PPPSI yaitu “Menghentikan clusterisasi di bidang perdagangan pulsa seluler”, hanya saja mungkin caranya yang salah. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang clusterisasi. Banyak pihak masih memandang clusterisasi sebagai sebuah aturan yang sah karena dikeluarkan oleh produsen. Perspektif bahwa produsen boleh membuat aturan apa saja dalam memasarkan produknya menjadikan arah perjuangan menjadi tidak terkendali dan tidak terarah.

Bila kita memahami isi UU nomor 5 tahun 1999, di salah satu pasalnya disebutkan sebagai berikut :

Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1)     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2)     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
         a.   harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
         b.   tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Bila kata “pelaku usaha” digantikan sebagai Telkomsel (produsen), “pelaku usaha lain” digantikan sebagai Dealer (Authorized Distributor) dan “pihak yang menerima barang dan atau jasa” digantikan sebagai Dealer (Authorized Distributor). Maka kalimat pada pasal 15 (1) di atas menjadi : Telkomsel (produsen) dilarang membuat perjanjian dengan Dealer (Authorized Dealer) yang memuat persyaratan bahwa pihak Dealer (Authorized Dealer) hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

“Pihak tertentu” dalam hal ini, sama dengan pedagang pulsa yang berada di luar wilayah cluster, dan “tempat tertentu” artinya wilayah di luar cluster.

Dari pasal 15 ayat (1) tersebut dapat kita pahami bahwa praktek membatasi wilayah pemasaran pulsa terhadap pedagang pulsa yang selama ini dijalankan oleh Telkomsel dan dealer-dealernya jelas melanggar hukum. Adalah hak pedagang untuk menjual pulsa Telkomsel kemana saja sepanjang dibeli dengan lunas, dan hak ini sangat dilindungi oleh undang-undang. Jadi tidak ada alasan bagi Telkomsel maupun dealer membuat cluster-cluster terhadap pedagang pulsa.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan ?

Karena praktek clusterisasi adalah pelanggaran hukum, maka jalan terbaik untuk melawannya adalah dengan jalur hukum. Mari kita gunakan hak hukum kita dengan santun melalui prosedur yang ada. Kita harus menjadikan hukum sebagai panglima keadilan. Terlepas dari carut-marutnya penegakan hukum di negara kita, masih banyak pihak-pihak dan insan-insan jujur yang siap membantu kita. Walau mungkin tidak segampang menuliskan, tapi kita harus yakin, hukum masih ada di negara tercinta ini, tidak ada salahnya untuk mencoba.

            Dengan memahami praktek clusterisasi lebih dalam, kita bisa menemukan banyak celah untuk menghentikannya. Namun dibutuhkan kesabaran dan keberanian terlebih kekompakan sesama pengurus PPPSI, sehingga kita tidak perlu mengorbankan para pedagang pulsa dalam proses menghentikan praktek pelanggaran hukum ini.
Sumber daya manusia PPPSI cukup kuat, hanya kurang solid dalam menjalankan misi dan visi organisasi, sehingga terjadi perbedaan persepsi mengenai clusterisasi. Kita berharap para pimpinan PPPSI bisa kembali bersatu dalam berjuang, menyatukan hati, demi kepentingan masyarakat, terutama mengembalikan hak-hak pedagang pulsa di seluruh Indonesia.

Monday, January 27, 2014

CLUSTERISASI PULSA SELULER, Telkomsel "Kangkangi" Undang-Undang


HZNews. Tiga tahun lebih sudah praktek "pembagian wilayah pemasaran pulsa" diberlakukan oleh  beberapa operator seluler. Namun sepertinya tak satupun institusi penegak hukum yang mampu (atau tidak mau) melihat bahwa sedang terjadi "pelanggaran hukum" yang sangat serius dan merugikan masyarakat, terutama pelanggan operator seluler.

Dalam prakteknya, Clusterisasi Pulsa Seluler adalah pembatasan wilayah penjualan pulsa seluler, dimana Distributor pulsa dan Produsen (dalam hal ini operator seluler) membuat perjanjian secara tertutup, untuk membuat batasan dimana distributor yang bersangkutan akan dan hanya akan memasok pulsa di wilayah tertentu saja. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi persaingan antara distributor yang satu dengan distributor lainnya dalam penjualan pulsa seluler.

Praktek ini jelas mengkhianati Pemerintah, Negara dan Rakyat Indonesia terutama pelanggan kartu seluler. Indonesia dengan tegas menolak praktek monopoli pasar, hal ini dibuktikan dengan disahkannya undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam undang-undang ini jelas praktek yang dijalankan oleh beberapa operator seluler yang membatasi wilayah pemasaran pulsa, merupakan suatu pelanggaran yang berakibat pada kerugian kepada para pelanggan seluler secara umum.

Berapa dana yang dibutuhkan oleh negara ini dalam pembuatan undang-undang? Tentu tidak sedikit, dan semua uang itu harusnya tidak sia-sia bila penegak hukum di negeri ini konsisten dan profesional dalam menjalankan tugasnya, bukannya memanfaatkan undang-undang sebagai "modal" untuk memenuhi "pundi-pundi"nya atau kelompoknya.

Telkomsel dengan pelanggan seluler terbesar di negara ini, adalah salah satu perusahaan yang membuat perjanjian dengan setiap distributornya untuk menerapkan aturan "tidak memasok pulsa ke daerah diluar yang sudah ditentukan dalam perjanjian". Dan distributor menerapkan perjanjian itu kepada para pedagang pulsa secara paksa. Bila perusahaan sebesar ini pun bisa melakukan pelanggaran hukum secara bebas sampai bertahun-tahun, maka sulit bagi kita untuk yakin bahwa aparat di negara ini masih bisa dipercaya dan diandalkan dalam menegakkan setiap undang-undang yang sudah dibuat.


Persaingan dalam perdagangan adalah hal yang wajib, dengan persaingan maka setiap pelaku usaha akan memberikan mutu atas layanan atau produk yang dijualnya. Hal itu juga berlaku terhadap pemasaran pulsa seluler. Praktek monopoli penjualan pulsa hanya akan menguntungkan pihak tertentu, dalam hal ini tentunya Telkomsel, dan pihak-pihak lain yang ikut memuluskan berjalannya praktek ini.

Dalam pasal 15 ayat (1) undang-undang nomor 5 tahun 1999 tertulis : "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu".

Entah penulis yang terlalu bodoh atau para penegak hukum kita memang tidak mau tahu, tetapi dari pengamatan penulis di lapangan, jelas sekali bahwa dalam praktek penjualan pulsa Telkomsel, setiap distributor memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Hal ini diakui oleh setiap distributor yang berhasil ditemui penulis, diamini oleh pihak Telkomsel melalui pejabatnya, dan tentu saja diketahui oleh semua pedagang pulsa di seluruh Indonesia.

Namun sampai tulisan ini dibuat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai "algojo" yang berwenang dalam menangani kasus yang berkaitan dengan UU no 5 tahun 1999, masih belum mampu membawa pelanggaran ini ke pengadilan. Memang tidak seperti kasus-kasus lain, praktek pembatasan wilayah pemasaran pulsa oleh Telkomsel memang jauh dari incaran media massa, mungkin hal ini juga menjadikan pihak berwenang merasa lebih "santai" dalam menangani kasus ini.
Penolakan-penolakan yang disampaikan oleh banyak pihak terutama dari pedagang pulsa ternyata tidak mampu "membuka mata" aparat penegak hukum. Setidaknya untuk memaksimalkan kemampuannya untuk menangani pelanggaran ini, sehingga bisa diuji di pengadilan.

Tidak adanya pemberitaan terhadap perlakuan Telkomsel yang membatasi wilayah penjualan terhadap pedagang pulsa, membuat opini publik selalu menganggap bahwa Telkomsel "baik-baik" saja. Akibatnya pelanggan Telkomsel juga belum menyadari, bahwa praktek monopoli ini akan berakibat buruk bagi mereka, pulsa yang mereka butuhkan akan semakin mahal, biaya komunikasi yang mereka tanggung akan semakin meningkat, mutu layanan akan jauh dari harapan, di samping banyak kerugian lainnya.

Bahkan tanpa disadari para pekerja distributor pulsa Telkomsel ikut menjadi korban dari praktek monopoli ini. Berbagai keluhan dari pekerja distributor pulsa Telkomsel, mulai dari target yang dipaksakan, jaminan kerja yang sangat tidak memadai, jam kerja yang tidak jelas, sampai batas-batas wilayah yang tidak jelas yang sering menyebabkan kerancuan di lapangan. Karena distributor adalah pemasok tunggal di wilayahnya, maka wajar saja kalau pelayanan yang baik bukan lagi ukuran untuk meraup untung, tanpa pelayanan yang bermutu pun jualan mereka tetap diincar para pengecer pulsa, mau kemana lagi para pedagang membeli ?

Entah sampai kapan praktek pembatasan wilayah pemasaran ini akan berlangsung. Semoga saja masih ada aparat penegak hukum kita yang profesional dan "punya nyali" dalam menghadapi perusahaan sebesar Telkomsel. Atau Hukum di negeri ini dibuat hanya untuk "dikangkangi" ???

Wednesday, December 25, 2013

"Hard Cluster" TELKOMSEL ganti baju menjadi “Pembagian Wilayah Operasional Kerja”



HardZoneNews, Medan.
Telkomsel mengganti istilah "hardcluster" menjadi "pembagian wilayah operasional kerja", hal ini dilakukan untuk mengelabui masyarakat dari praktek pelanggaran hukum yang selama ini dilakukan Telkomsel. Istilah "hardcluster" yang sejak awal 2009 telah menjadi ikon bagi praktek curang dalam perdagangan pulsa, dirasa Telkomsel bisa merusak image masyarakat terhadap perusahaan telekomunikasi terbesar tersebut, terutama dengan banyaknya protes dari para pedagang pulsa.

Penggunaan istilah baru ini mulai digunakan sejak Juni 2013 bersamaan dengan penandatanganan perjanjian kontrak untuk masa kerja 2 (dua) tahun dengan semua distributor pulsa Telkomsel yang berlangsung di Jakarta.

Salah satu BM distributor yang tidak mau disebut namanya mengakui poin pembagian wilayah pemasaran yang diperkenalkan Telkomsel dengan istilah “wilayah operasional kerja” ini tercantum dalam kontrak kerja yang ditandatangani oleh distributor pada bulan Juni 2013 lalu di Jakarta.

Pada prakteknya, “pembagian wilayah operasional kerja” tidak berbeda dengan "hardcluster", yakni Telkomsel membagi wilayah Indonesia menjadi cluster-cluster kecil, dimana tiap cluster terdiri dari beberapa kecamatan. Perusahaan-perusahaan yang menjadi distributor pulsa Telkomsel harus menandatangani perjanjian dengan Telkomsel untuk tidak mendistribusikan (menjual) pulsa Telkomsel di luar wilayah yang telah diberikan oleh Telkomsel kepada distributor yang bersangkutan. Bila melanggar, menurut  seorang Branch Manager salah satu distributor pulsa Telkomsel yang berhasil ditemui tim HZNews, mereka akan terkena sanksi pengurangan stok di periode minggu berikutnya. Sanksi lain yang masih menurut sumber yang sama, adalah pemindahan distributor yang bersangkutan ke “daerah kering”, yakni daerah yang penjualan pulsa Telkomselnya sangat minim, sehingga keuntungan distributor dipastikan akan berkurang.

Mau tak mau para distributor juga memberlakukan hal yang sama kepada pedagang pulsa Telkomsel. Hal ini untuk menjaga "raport" mereka, pembagian wilayah pemasaran ini juga diakui oleh beberapa pedagang yang ditemui HZNews. Sebagian besar dari pedagang merasa dizalimi dengan praktek ini, tapi mereka tidak bisa berbuat banyak. "Dapur mesti dijaga, mas, kalo melawan malah gak dikasi belanja", demikian komentar pak Parjo, salah seorang pedagang pulsa ketika ditanya pendapatnya soal "hard cluster".

Banyak masyarakat belum paham akan efek jangka panjang dari praktek pembagian wilayah pemasaran oleh Telkomsel dan beberapa operator seluler lain. Dengan membagi-bagi wilayah pemasaran, Telkomsel dengan mudah menyetir distributornya untuk tidak saling bersaing dalam menjual pulsa Telkomsel. Distributor tidak perlu menyediakan layanan yang maksimal dalam melayani pedagang, sebab para pedagang tidak punya pilihan lain sebagai tempat membeli stok pulsa Telkomsel. Mereka hanya bisa membeli stok pulsa Telkomsel pada distributor yang ada di wilayah mereka berjualan, bila membeli ke distributor di tempat lain, para pedagang tidak akan dilayani. Ini sudah kesepakatan para distributor dengan Telkomsel.

Tanpa persaingan yang sehat, maka Telkomsel dengan mudah pula menyetir harga pulsa Telkomsel di pasaran. Hal ini terbukti dengan tidak adanya pergeseran harga pulsa Telkomsel sejak tahun 2009, dimana aturan hard cluster mulai diberlakukan. Bahkan pada sekitar bulan Oktober 2013 Telkomsel mulai mencoba keampuhan praktek monopoli ini dengan menaikkan harga pulsa dengan nominal 5000 di sisi pedagang.

Dengan aturan hardcluster, atau sekarang diperkenalkan Telkomsel dengan istilah “pembagian wilayah operasional kerja” Telkomsel berhasil menjadikan perdagangan pulsa Telkomsel seperti distribusi BBM (bahan bahak minyak), dengan monopoli penuh, distributor-distributor pulsa Telkomsel bisa duduk nyaman tanpa harus bersaing sesama distributor, tidak butuh pekerja yang handal, tidak butuh biaya promosi, tidak perlu layanan yang profesional dalam melayani pedagan pulsa.

Pada akhirnya yang paling dirugikan adalah pelanggan Telkomsel yang menggunakan kartu seluler Simpati dan Kartu As, karena  harga pulsa kedua kartu seluler ini hanya akan bisa naik, tak pernah bisa turun sesuai dengan perkembangan pasar..

Efek lain dari praktek Monopoli bagi kedua kartu seluler ini adalah pelayanan yang tidak semakin baik, buktinya, untuk menyampaikan keluhan saat ini, para pelanggan Kartu As dan Simpati sudah dikenakan biaya. Jadi masih mau mengeluh? Wani Piro?

Monday, November 25, 2013

HARD CLUSTER TELKOMSEL, demi LABA BESAR manfaatkan HUKUM yang lemah.

 
Hard Cluster Telkomsel Kejam dan Rakus
HARD CLUSTER, masyarakat umum pasti belum akrab dengan istilah ini, bahkan sebagian besar pedagang pulsa pun tidak begitu memahami apa yang terjadi dengan istilah ini. Bagi sebagian besar pedagang HARD CLUSTER hanyalah sebuah peraturan yang wajar dan harus mereka taati sebagai sebuah aturan dagang milik sang produsen.
Tidak banyak yang peduli dengan asal-usul, tujuan, ataupun akibat dari aturan Hard Cluster ini. Memang tidak banyak pihak yang dirugikan secara langsung dengan aturan Hard Cluster ini, kecuali pemilik server pulsa. Ya, pemilik server pulsa memang satu-satunya pihak yang paling dirugikan dengan aturan ini.
Namun di masa mendatang, bila aturan ini terus berjalan, maka yang paling dirugikan adalah pelanggan operator seluler. Kenapa ? Karena dengan aturan Hard Cluster maka tidak ada persaingan sama sekali di antara distributor pulsa. Tanpa persaingan maka operator seluler akan dapat dipastikan akan mengatur harga pulsa semaunya.

Apa itu Hard Cluster Telkomsel ?
Walaupun tidak pernah ada aturan tertulisnya, namun dari fakta dilapangan, penjelasan pihak Telkomsel, keterangan pihak dealer, keterangan sales maupun dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan pihak dealer serta prakteknya di lapangan, Hard Cluster Telkomsel bisa dijelaskan sebagai berikut:
  1. Wilayah Pemasaran pulsa Telkomsel dibagi menjadi cluster-cluster kecil yang terdiri dari 4 – 5 kecamatan untuk tiap cluster.
  2. Di tiap cluster biasanya ada 2 (dua) dealer yang beroperasi, namun Reseller (pedagang) hanya boleh berbelanja ke satu dealer saja. Dalam hal ini ada semacam kesepakatan sesama dealer untuk tidak melayani penjualan kepada pedagang yang berjualan di luar clusternya.
  3. Pedagang pulsa yaitu pemilik kartu Mkios Reseller hanya boleh menjual pulsa kepada pelanggan Telkomsel yang berada di wilayah cluster dealer tempatnya membeli stok Mkios. Singkatnya, bila Anda berbelanja di dealer A maka Anda hanya boleh berjualan di kecamatan-kecamatan yang dikuasai oleh dealer A.
  4. Dikenal istilah “Inner” yang artinya penjualan Mkios di wilayah cluster dealer yang bersangkutan. Contoh: Bila pedagang A membeli stok Mkios di Dealer B yang wilayah clusternya berada cluster C, maka bila pedagang A menjual pulsa ke pelanggan Telkomsel, penjualan tersebut dianggap “Inner” bila : pembeli tersebut menggunakan pulsa tersebut pertama kali di wilayah cluster C.
  5. Dikenal istilah “Outer” yang artinya penjualan Mkios ke luar wilayah cluster dealer yang bersangkutan. Contoh: Bila pedagang A tadi menjual pulsa ke pelanggan yang berada di wilayah cluster X, maka pedagang A dianggap melakukan penjualan “Outer”. Atau bila pedagang A menjual ke pelanggan di wilayah cluster C, namun pelanggan tersebut setelah membeli pulsa lalu pergi ke wilayah cluster X dan menggunakan pulsanya di wilayah cluster X, maka pedagang A tetap dianggap melakukan penjualan “Outer”.
  6. Pedagang Mkios yang melakukan penjualan “Outer” akan dikenakan sanksi berupa pemblokiran kartu Mkios milik pedagang dan tidak dilayani untuk membeli stok Mkios, alias harus berhenti berjualan pulsa Telkomsel.
  7. Ada toleransi penjualan “Outer” kira-kira 20-30 persen per minggu yang diperbolehkan, walaupun data ini tidak ada yang tahu dari mana datangnya.
Bila disimpulkan, maka HARD CLUSTER Telkomsel adalah Pembagian Wilayah Pemasaran pulsa Telkomsel. Praktek ini jelas melanggar undang-undang, terutama pasal 15 undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Pelarangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang isinya : 

Pasal 15 
  1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
  2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
  3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
          a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau   
          b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang
              menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Bila ditanya, apakah Telkomsel dan Dealernya punya perjanjian dimana Dealer hanya boleh menjual stok pulsa Telkomsel di wilayah yang ditunjuk oleh Telkomsel? Hanya Tuhan dan mereka-mereka yang terlibatlah yang tahu akan hal ini. 

Yang pasti, dalam praktek di lapangan hal ini jelas terjadi. Pedagang hanya punya 1 (satu) pilihan tempat berbelanja stok Mkios, dan hanya hanya bisa menjual di beberapa kecamatan yang telah ditentukan oleh Dealer kepada setiap pedagang.

Dan hal inilah yang tidak bisa diterima oleh pemain server pulsa. Kenapa? Dengan cara ini server pulsa milik Dealer dan orang-orang “dekat”nya saja yang bisa eksis, sedangkan server pulsa lain akan mati pelan-pelan sesuai kehendak Dealer. Dan itu sudah terjadi.

Jadi tidak salah, kalau para pemain server menduga sejak awal bahwa aturan Hard Cluster ini dibuat oleh Telkomsel hanya untuk bisa menguasakan perdagangan pulsa Telkomsel kepada pihak-pihak tertentu. Dengan begitu maka tidak ada persaingan harga di level bawah, ini tentu menguntungkan Telkomsel secara sepihak.

Entah disadari atau tidak, sejak aturan Hard Cluster diberlakukan oleh Telkomsel, nyaris tidak pernah terjadi penurunan harga di level pedagang, hal ini tentu menjadi salah satu tujuan dari Telkomsel, yaitu agar bisa mengatur harga. Dengan tidak adanya persaingan di level Dealer dan pedagang maka harga pulsa bisa diatur sedemikian rupa, dan tanpa sadar PELANGGAN Telkomsel telah menjadi KORBAN, karena harga pasar tidak lagi berlaku, yang berlaku adalah harga MONOPOLI. Tidak ada jaminan harga tidak akan naik, siapa yang bisa protes, karena pedagang sudah diatur, maka harga pun bisa diatur.

Apakah Telkomsel berani melanggar hukum ?

Ini memang pertanyaan menarik, kuat dugaan Telkomsel memang tahu benar kalau aturan Hard Cluster ini melanggar undang-undang, namun pihak-pihak yang diuntungkan dengan Hard Cluster ini juga tahu kalau pun tindakan mereka dapat dibuktikan, hukumannya sangatlah ringan.

Dalam undang-undang no. 5 tahun 1999, sanksi untuk perjanjian tertutup (pasal 15) hanya didenda 25 milyar, bandingkan dengan hasil penjualan pulsa Telkomsel setiap harinya. Dari data yang penulis dapat, transaksi pulsa Telkomsel untuk tahun 2010 mencapai 10jt transaksi per hari, dan Dealer mengantongi 3% keuntungan dari Nominal pulsa. Jika kita anggap semua transaksi itu adalah pulsa 10.000, maka 3% x 10.000 = 300 rupiah, padahal sekarang harga dari Dealer ke pedagang adalah 10.250, jadi ada selisih 550 rupiah untuk dealer, jadi 550 x 10jt = 5.500.000.000 keuntungan per hari.

Siapa yang mau berbagi keuntungan besar ini ? Inilah yang diusahakan Telkomsel dan pihak-pihak yang ingin mengusainya agar keuntungan besar ini tidak lepas dari genggaman mereka. Tak penting apakah melanggar hukum atau tidak.

Kalaupun suatu saat ada penegak hukum yang mengungkitnya, para pihak yang bermain sudah meraih cukup banyak keuntungan, dan denda yang harus mereka bayar paling besar hanya 25 milyar rupiah (kasus Semen Gresik hanya didenda 1 milyar).

Bayangkan keuntungan mereka selama 3 tahun terakhir ini ! 3 x 365 hari x 5.5 milyar = Rp. 6.022.500.000.000,- (enam triliun dua puluh dua milyar lima ratus juta rupiah). Adakah keuntungan ini untuk pembangunan dan pelayanan pelanggan Telkomsel ? Saya kira tidak, mengingat keluhan masyarakat ke Telkomsel bukan semakin berkurang. Bahkan, sekarang pelanggan Telkomsel yang mengeluh harus membayar “uang keluhan” sebesar Rp. 300 per sekali mengeluh. Kalau gak percaya silahkan telepon 116 maka anda akan diarahkan ke 188 yang berbayar, kalau gak mau bayar jangan lanjutkan, tahan aja keluhan anda di dalam hati.

Yang paling tidak masuk akal dari aturan ini adalah pedagang dipaksa untuk mengetahui dimana posisi nomor ponsel yang akan diisi, bila nomor tersebut berada di luar cluster dealer yang bersangkutan, maka kemungkinan pedagang akan terkena “outer” alias melanggar aturan. Maka sebagai pedagang Anda harus bertanya pada pelanggan posisi nomor yang hendak diisi.

Hal ini tidak dapat dilakukan oleh server pulsa, bahkan saya yakin Dealer sendiri tidak punya teknologi yang bisa mengetahui posisi suatu nomor ponsel sebelum pulsanya diisi. Jadi darimana dealer tahu bahwa pedagang telah menjual “inner” atau “outer”? Kecuali mereka memata-matai nomor ponsel milik si pedagang dan bertanya kepada Telkomsel posisi nomor ponsel yang diisi pedagang, maka kecil kemungkinan dealer punya data persentase “inner” dan “outer” pejualan para pedagang. Atau kemungkinan lain, dealer mendapat bocoran data-data transaksi yang terjadi di nomor ponsel pedagang, dari mana lagi kalau bukan dari Telkomsel.(js)
































Monday, November 11, 2013

Hari ini tanggal sebelas bulan november tahun dua ribu tiga belas, resmi terbit blog Hard Zone News. Blog ini didedikasikan untuk menunjang perjuangan Perhimpunan Pedagang Pulsa dan Seluler Indonesia (PPPSI) wilayah Sumatera.

Semoga perjuangan kita dalam menegakkan hukum dalam perdagangan pulsa dapat diwujudkan. Untuk itu aturan "hard cluster" oleh operator seluler harus dihapuskan, karena jelas-jelas telah melanggar undang-undang terutama pasal 15 undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,  yang berbunyi :

(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Hukum harus ditegakkan !

Merdeka..... Merdeka.... Merdeka.....!!!!