Belakangan ini muncul satu
gagasan untuk membuat kesepakatan harga pulsa Telkomsel di tingkat pengecer
dengan posisi harga 7000 dan 12000 untuk nominal 5000 dan 10000. Belum jelas
apakah gagasan ini berasal dari suatu kesepakatan atau hanya ide perseorangan
yang diangkat ke publik, namun yang pasti gagasan ini telah beberapa kali
diposting di group PPPSI daerah maupun group DPP oleh beberapa anggota yang
berbeda. Sementara di group lain gagasan ini bahkan menjadi fokus utama.
Tulisan ini
tidak bermaksud untuk “menyetujui” atau “menolak”, melainkan hanya memberi
pandangan atau pendapat tentang gagasan tersebut dan sama sekali jauh dari
mempengaruhi keputusan para pedagang pulsa apalagi pembuat gagasan.
“Bersama P3SI mari kita wujudkan harga yang
stabil dan kondusif bukan persaingan, silahkan bergabung di P3SI wilayah
masing2 kita satu KOMANDO bukan jadi bumerang biarkan ada CLUSTER kita jalan
dengan MODERN CHANEL bila ada SERVER YANG JUAL HARGA MURAH berarti dak bisa
diajak kerjasama demi kepentingan bersama, ketentuan harga dari pusat”
Kalimat ajakan
di atas diambil dari postingan group DPP PPPSI, kalimat ini cukup jelas
menggambarkan gagasan tersebut, dan sengaja saya kutip di sini, hanyalah
sebagai bahan untuk kita pelajari bersama-sama, sehingga kelak bisa menjadi bahan
pertimbangan bagi kita semua dalam menyusun langkah untuk mencapai tujuan awal
berdirinya PPPSI, yaitu : “Menghentikan clusterisasi pemasaran pulsa seluler”.
Dalam
perdagangan, “keuntungan” tentu menjadi hal yang paling penting. Keuntungan
berasal dari selisih harga jual dikurangi harga modal. Harga modal sendiri bisa
dipengaruhi oleh harga pembelian dan biaya operasional. Dalam hal ini, harga
pembelian pulsa Telkomsel dari dealer ke pengecer berada di kisaran 5250 dan
10250 untuk nominal 5000 dan 10000, dan harga eceran di pasaran berkisar 6000
dan 11000. Bila kita mengabaikan biaya operasional, maka keuntungan yang
didapat pengecer adalah 750 tiap transaksi.
Berdasarkan
gagasan postingan di atas, dengan menjual 7000 dan 12000 tentu keuntungan pengecer
menjadi 1750 per transaksi. Mungkinkah ???
Mari kita simak dulu, apa yang
diharapkan dealer dan operator seluler dengan clusterisasi. Sama seperti pengecer,
dealer juga mengharapkan keuntungan yaitu selisih harga penjualan ke pengecer
dikurang biaya modal.
Perbedaan “kondisi” dealer dengan
pengecer adalah, dealer memiliki hak monopoli untuk menjual pulsa di wilayah
clusternya, dengan kata lain dealer tidak punya saingan di pasar bersangkutan.
Sesama dealer sangat mungkin untuk membuat kesepakatan harga jual, bahkan
kesepakatan harga jual setingkat nasional, dan ini memang sedang terjadi,
karena mereka telah mempunyai wilayah monopoli sendiri, mereka tidak saling
bersaing, maka tidak perlu pikir panjang untuk mengikuti “harga kesepakatan”
tersebut.
Sementara
pengecer adalah saingan bagi pengecer lain, dan dalam kenyataannya, perbedaan
harga jual di antara pengecer sangat berpengaruh kepada para pelanggan mereka.
Selisih harga 500 rupiah saja bisa memindahkan pelanggan ke pengecer lain.
Sekarang mari
kita berandai-andai ! Sebuah perkumpulan pedagang pulsa bernama X yang semua
membernya berdomisili dalam satu daerah kabupaten sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan
program “satu harga”, berhasil mengajak semua membernya untuk melakukan aksi
jual “satu harga” 7000 dan 12000. Lalu dalam satu daerah kecil misalnya di
sebuah gang terdapat 5 outlet pengecer pulsa, 4 diantaranya adalah member X
sedangkan outlet yang satu non member. Karena 4 outlet lain menjual pulsa
dengan harga 7000 dan 12000, sementara outlet yang satunya tetap menjual harga
6000 dan 11000 karena outlet tersebut merasa tidak terikat dengan aturan X.
Mungkin dalam beberapa hari, keempat outlet member X belum merasakan
pengurangan pembeli, namun dalam jangka panjang bisa dipasatikan sebagian besar
pelanggan mereka akan pindah ke penjual termurah, dan outlet non member X pasti
akan panen pelanggan baru. Alih-alih untung, 4 outlet member X tersebut malah
buntung.
Lalu akan timbul pertanyaan, apakah keempat
member X bisa memaksa outlet yang bukan member X mengikuti harga sesuai aturan
perkumpulan X ? Atau, apakah perkumpulan X bisa memaksa setiap outlet di
wilayahnya untuk masuk dan mengikuti aturan perkumpulan X ? Silahkan pembaca
jawab sendiri.
Lalu bagaimana bila ada member X
yang tidak mau mengikuti aturan “satu harga”, apakah bisa dikenakan sanksi?
Akan sulit sekali memberikan sanksi kepada pedagang, karena selain ikatan
emosional, para member X sama sekali tidak memiliki ikatan perjanjian yang bisa
memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang diberlakukan oleh X.
Berbeda halnya dengan dealer,
semua dealer mempunyai ikatan perjanjian dengan produsen. Ketika satu dealer
melanggar aturan, maka produsenlah yang memberikan sanksi, sementara semua
dealer bergantung kepada “kemurahan hati” produsen.
Kita
masuk ke “andai” berikutnya. Kita anggap saja perkumpulan X berhasil mengajak
semua pedagang pulsa se kabupaten menjadi membernya, dan semua member ini patuh
dengan aturan “satu harga” 7000 dan 12000. Dari pembahasan kita di atas, bisa
ditarik satu kesimpulan bahwa clusterisasi dibuat untuk tujuan meraup
keuntungan sebesar-besarnya bagi dealer.
Setelah
berhasil mengajak satu kabupaten, perkumpulan X melebarkan sayap ke kabupaten
lain, propinsi lain, dan akhirnya pedagang pulsa se Indonesia sepakat dengan “satu
harga” 7000 dan 12000 (saya tahu dalam hati anda sedang mengatakan “mana
mungkin”). Tapi kita memang sedang berandai-andai jadi anggap saja mungkin.
Kita lanjutkan ya….
Akhirnya semua pedagang pulsa
merasa senang, walau hanya beberapa saat. Kenapa ? Dealer melihat harga pasar eceran
sudah naik, saatnya mengambil keuntungan lebih, maka dealer sepakat menaikkan
harga jual ke pengecer menjadi 6250 dan 11250. Sompret…. Mungkinkah ? Bisakah ?
Bolehkah ? Kenapa tidak !!!! Dealer adalah pemegang hak monopoli penjualan
pulsa Telkomsel. Mereka bisa melakukan apa saja demi meningkatkan keuntungan. Setahu
saya, harga pembelian dari produsen ke dealer adalah nilai nominal dikurang 4
persen yang diberikan kepada dealer dalam bentuk “cash back”. Jadi harga
pembelian dealer adalah 4600 dan 9600 dan tidak pernah naik, yang mungkin naik
adalah biaya operasional, jadi bayangkan keuntungan yang mereka dapatkan bila
menjual ke pengecer dengan harga 6250 dan 11250.
Pengecer tidak bisa berbuat
apa-apa, hanya bisa gigit jari, khayalan membeli mobil baru harus ditunda.
Apakah masih mau buat aturan “satu harga” 8000 dan 13000 ???????
Saat
situasi seperti ini terjadi, siapa yang mau bertanggung jawab terhadap
“tangisan” pedagang pulsa? Apakah para pengurus perkumpulan X sudah memsiapkan solusinya? Atau akan lari membiarkan para
pedagang meratapi nasib. Mari kita pikirkan bersama-sama, apa yang akan kita
dapat dengan program “satu harga”.
Pasar yang
baik adalah pasar dengan persaingan sempurna. Segala bentuk monopoli atau
penetapan harga jual hanya akan menghancurkan pasar itu sendiri, dan yang diuntungkan hanyalah pemegang hak
monopoli. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia dengan tegas melarang
praktek monopoli dan praktek penetapan harga, sebagaimana dituangkan dalam
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pelanggaran Hukum Harus Dilawan
Dengan Hukum
Bisa dipahami,
bahwa anjuran-anjuran di atas merupakan salah satu bentuk semangat juang dalam
mencapai tujuan PPPSI yaitu “Menghentikan clusterisasi di bidang perdagangan
pulsa seluler”, hanya saja mungkin caranya yang salah. Hal ini terjadi karena
kurangnya pemahaman tentang clusterisasi. Banyak pihak masih memandang
clusterisasi sebagai sebuah aturan yang sah karena dikeluarkan oleh produsen.
Perspektif bahwa produsen boleh membuat aturan apa saja dalam memasarkan
produknya menjadikan arah perjuangan menjadi tidak terkendali dan tidak
terarah.
Bila kita
memahami isi UU nomor 5 tahun 1999, di salah satu pasalnya disebutkan sebagai
berikut :
Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan
atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan
atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku
usaha pemasok.
(3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari
pelaku usaha pemasok:
a. harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
b. tidak
akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Bila kata “pelaku usaha” digantikan sebagai Telkomsel (produsen), “pelaku usaha lain” digantikan sebagai
Dealer (Authorized Distributor) dan “pihak
yang menerima barang dan atau jasa” digantikan sebagai Dealer (Authorized Distributor). Maka kalimat pada pasal 15 (1) di
atas menjadi : Telkomsel (produsen)
dilarang membuat perjanjian dengan Dealer (Authorized Dealer) yang memuat persyaratan bahwa pihak Dealer
(Authorized Dealer) hanya akan memasok
atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu
dan atau pada tempat tertentu.
“Pihak tertentu” dalam hal ini, sama dengan pedagang pulsa yang berada
di luar wilayah cluster, dan “tempat tertentu” artinya wilayah di luar cluster.
Dari pasal 15 ayat
(1) tersebut dapat kita pahami bahwa praktek membatasi wilayah pemasaran pulsa
terhadap pedagang pulsa yang selama ini dijalankan oleh Telkomsel dan
dealer-dealernya jelas melanggar hukum. Adalah hak pedagang untuk menjual pulsa
Telkomsel kemana saja sepanjang dibeli dengan lunas, dan hak ini sangat
dilindungi oleh undang-undang. Jadi tidak ada alasan bagi Telkomsel maupun
dealer membuat cluster-cluster terhadap pedagang pulsa.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan ?
Karena praktek
clusterisasi adalah pelanggaran hukum, maka jalan terbaik untuk melawannya
adalah dengan jalur hukum. Mari kita gunakan hak hukum kita dengan santun
melalui prosedur yang ada. Kita harus menjadikan hukum sebagai panglima
keadilan. Terlepas dari carut-marutnya penegakan hukum di negara kita, masih
banyak pihak-pihak dan insan-insan jujur yang siap membantu kita. Walau mungkin
tidak segampang menuliskan, tapi kita harus yakin, hukum masih ada di negara
tercinta ini, tidak ada salahnya untuk mencoba.
Dengan
memahami praktek clusterisasi lebih dalam, kita bisa menemukan banyak celah
untuk menghentikannya. Namun dibutuhkan kesabaran dan keberanian terlebih
kekompakan sesama pengurus PPPSI, sehingga kita tidak perlu mengorbankan para pedagang
pulsa dalam proses menghentikan praktek pelanggaran hukum ini.
Sumber daya manusia PPPSI cukup
kuat, hanya kurang solid dalam menjalankan misi dan visi organisasi, sehingga
terjadi perbedaan persepsi mengenai clusterisasi. Kita berharap para pimpinan
PPPSI bisa kembali bersatu dalam berjuang, menyatukan hati, demi kepentingan
masyarakat, terutama mengembalikan hak-hak pedagang pulsa di seluruh Indonesia.