Pembatasan Wilayah Pemasaran adalah PELANGGARAN terhadap UNDANG-UNDANG, merugikan Negara, merugikan Pedagang, terutama merugikan Pelanggan. "Pembatasa Wilayah Pemasaran Pulsa" merupakan tindakan MONOPOLI penjualan pulsa agar operator seluler bisa mengatur harga pulsa di pasar

Monday, January 27, 2014

CLUSTERISASI PULSA SELULER, Telkomsel "Kangkangi" Undang-Undang


HZNews. Tiga tahun lebih sudah praktek "pembagian wilayah pemasaran pulsa" diberlakukan oleh  beberapa operator seluler. Namun sepertinya tak satupun institusi penegak hukum yang mampu (atau tidak mau) melihat bahwa sedang terjadi "pelanggaran hukum" yang sangat serius dan merugikan masyarakat, terutama pelanggan operator seluler.

Dalam prakteknya, Clusterisasi Pulsa Seluler adalah pembatasan wilayah penjualan pulsa seluler, dimana Distributor pulsa dan Produsen (dalam hal ini operator seluler) membuat perjanjian secara tertutup, untuk membuat batasan dimana distributor yang bersangkutan akan dan hanya akan memasok pulsa di wilayah tertentu saja. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi persaingan antara distributor yang satu dengan distributor lainnya dalam penjualan pulsa seluler.

Praktek ini jelas mengkhianati Pemerintah, Negara dan Rakyat Indonesia terutama pelanggan kartu seluler. Indonesia dengan tegas menolak praktek monopoli pasar, hal ini dibuktikan dengan disahkannya undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam undang-undang ini jelas praktek yang dijalankan oleh beberapa operator seluler yang membatasi wilayah pemasaran pulsa, merupakan suatu pelanggaran yang berakibat pada kerugian kepada para pelanggan seluler secara umum.

Berapa dana yang dibutuhkan oleh negara ini dalam pembuatan undang-undang? Tentu tidak sedikit, dan semua uang itu harusnya tidak sia-sia bila penegak hukum di negeri ini konsisten dan profesional dalam menjalankan tugasnya, bukannya memanfaatkan undang-undang sebagai "modal" untuk memenuhi "pundi-pundi"nya atau kelompoknya.

Telkomsel dengan pelanggan seluler terbesar di negara ini, adalah salah satu perusahaan yang membuat perjanjian dengan setiap distributornya untuk menerapkan aturan "tidak memasok pulsa ke daerah diluar yang sudah ditentukan dalam perjanjian". Dan distributor menerapkan perjanjian itu kepada para pedagang pulsa secara paksa. Bila perusahaan sebesar ini pun bisa melakukan pelanggaran hukum secara bebas sampai bertahun-tahun, maka sulit bagi kita untuk yakin bahwa aparat di negara ini masih bisa dipercaya dan diandalkan dalam menegakkan setiap undang-undang yang sudah dibuat.


Persaingan dalam perdagangan adalah hal yang wajib, dengan persaingan maka setiap pelaku usaha akan memberikan mutu atas layanan atau produk yang dijualnya. Hal itu juga berlaku terhadap pemasaran pulsa seluler. Praktek monopoli penjualan pulsa hanya akan menguntungkan pihak tertentu, dalam hal ini tentunya Telkomsel, dan pihak-pihak lain yang ikut memuluskan berjalannya praktek ini.

Dalam pasal 15 ayat (1) undang-undang nomor 5 tahun 1999 tertulis : "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu".

Entah penulis yang terlalu bodoh atau para penegak hukum kita memang tidak mau tahu, tetapi dari pengamatan penulis di lapangan, jelas sekali bahwa dalam praktek penjualan pulsa Telkomsel, setiap distributor memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Hal ini diakui oleh setiap distributor yang berhasil ditemui penulis, diamini oleh pihak Telkomsel melalui pejabatnya, dan tentu saja diketahui oleh semua pedagang pulsa di seluruh Indonesia.

Namun sampai tulisan ini dibuat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai "algojo" yang berwenang dalam menangani kasus yang berkaitan dengan UU no 5 tahun 1999, masih belum mampu membawa pelanggaran ini ke pengadilan. Memang tidak seperti kasus-kasus lain, praktek pembatasan wilayah pemasaran pulsa oleh Telkomsel memang jauh dari incaran media massa, mungkin hal ini juga menjadikan pihak berwenang merasa lebih "santai" dalam menangani kasus ini.
Penolakan-penolakan yang disampaikan oleh banyak pihak terutama dari pedagang pulsa ternyata tidak mampu "membuka mata" aparat penegak hukum. Setidaknya untuk memaksimalkan kemampuannya untuk menangani pelanggaran ini, sehingga bisa diuji di pengadilan.

Tidak adanya pemberitaan terhadap perlakuan Telkomsel yang membatasi wilayah penjualan terhadap pedagang pulsa, membuat opini publik selalu menganggap bahwa Telkomsel "baik-baik" saja. Akibatnya pelanggan Telkomsel juga belum menyadari, bahwa praktek monopoli ini akan berakibat buruk bagi mereka, pulsa yang mereka butuhkan akan semakin mahal, biaya komunikasi yang mereka tanggung akan semakin meningkat, mutu layanan akan jauh dari harapan, di samping banyak kerugian lainnya.

Bahkan tanpa disadari para pekerja distributor pulsa Telkomsel ikut menjadi korban dari praktek monopoli ini. Berbagai keluhan dari pekerja distributor pulsa Telkomsel, mulai dari target yang dipaksakan, jaminan kerja yang sangat tidak memadai, jam kerja yang tidak jelas, sampai batas-batas wilayah yang tidak jelas yang sering menyebabkan kerancuan di lapangan. Karena distributor adalah pemasok tunggal di wilayahnya, maka wajar saja kalau pelayanan yang baik bukan lagi ukuran untuk meraup untung, tanpa pelayanan yang bermutu pun jualan mereka tetap diincar para pengecer pulsa, mau kemana lagi para pedagang membeli ?

Entah sampai kapan praktek pembatasan wilayah pemasaran ini akan berlangsung. Semoga saja masih ada aparat penegak hukum kita yang profesional dan "punya nyali" dalam menghadapi perusahaan sebesar Telkomsel. Atau Hukum di negeri ini dibuat hanya untuk "dikangkangi" ???