Pembatasan Wilayah Pemasaran adalah PELANGGARAN terhadap UNDANG-UNDANG, merugikan Negara, merugikan Pedagang, terutama merugikan Pelanggan. "Pembatasa Wilayah Pemasaran Pulsa" merupakan tindakan MONOPOLI penjualan pulsa agar operator seluler bisa mengatur harga pulsa di pasar

Monday, March 17, 2014

Pengecer jual pulsa telkomsel dengan “satu harga” 7000 dan 12000. UNTUNG atau RUGI ???




Belakangan ini muncul satu gagasan untuk membuat kesepakatan harga pulsa Telkomsel di tingkat pengecer dengan posisi harga 7000 dan 12000 untuk nominal 5000 dan 10000. Belum jelas apakah gagasan ini berasal dari suatu kesepakatan atau hanya ide perseorangan yang diangkat ke publik, namun yang pasti gagasan ini telah beberapa kali diposting di group PPPSI daerah maupun group DPP oleh beberapa anggota yang berbeda. Sementara di group lain gagasan ini bahkan menjadi fokus utama.



Tulisan ini tidak bermaksud untuk “menyetujui” atau “menolak”, melainkan hanya memberi pandangan atau pendapat tentang gagasan tersebut dan sama sekali jauh dari mempengaruhi keputusan para pedagang pulsa apalagi pembuat gagasan.

“Bersama P3SI mari kita wujudkan harga yang stabil dan kondusif bukan persaingan, silahkan bergabung di P3SI wilayah masing2 kita satu KOMANDO bukan jadi bumerang biarkan ada CLUSTER kita jalan dengan MODERN CHANEL bila ada SERVER YANG JUAL HARGA MURAH berarti dak bisa diajak kerjasama demi kepentingan bersama, ketentuan harga dari pusat”

Kalimat ajakan di atas diambil dari postingan group DPP PPPSI, kalimat ini cukup jelas menggambarkan gagasan tersebut, dan sengaja saya kutip di sini, hanyalah sebagai bahan untuk kita pelajari bersama-sama, sehingga kelak bisa menjadi bahan pertimbangan bagi kita semua dalam menyusun langkah untuk mencapai tujuan awal berdirinya PPPSI, yaitu : “Menghentikan clusterisasi pemasaran pulsa seluler”.

            Dalam perdagangan, “keuntungan” tentu menjadi hal yang paling penting. Keuntungan berasal dari selisih harga jual dikurangi harga modal. Harga modal sendiri bisa dipengaruhi oleh harga pembelian dan biaya operasional. Dalam hal ini, harga pembelian pulsa Telkomsel dari dealer ke pengecer berada di kisaran 5250 dan 10250 untuk nominal 5000 dan 10000, dan harga eceran di pasaran berkisar 6000 dan 11000. Bila kita mengabaikan biaya operasional, maka keuntungan yang didapat pengecer adalah 750 tiap transaksi.

            Berdasarkan gagasan postingan di atas, dengan menjual 7000 dan 12000 tentu keuntungan pengecer menjadi 1750 per transaksi. Mungkinkah ???
Mari kita simak dulu, apa yang diharapkan dealer dan operator seluler dengan clusterisasi. Sama seperti pengecer, dealer juga mengharapkan keuntungan yaitu selisih harga penjualan ke pengecer dikurang biaya modal.

Perbedaan “kondisi” dealer dengan pengecer adalah, dealer memiliki hak monopoli untuk menjual pulsa di wilayah clusternya, dengan kata lain dealer tidak punya saingan di pasar bersangkutan. Sesama dealer sangat mungkin untuk membuat kesepakatan harga jual, bahkan kesepakatan harga jual setingkat nasional, dan ini memang sedang terjadi, karena mereka telah mempunyai wilayah monopoli sendiri, mereka tidak saling bersaing, maka tidak perlu pikir panjang untuk mengikuti “harga kesepakatan” tersebut.

Sementara pengecer adalah saingan bagi pengecer lain, dan dalam kenyataannya, perbedaan harga jual di antara pengecer sangat berpengaruh kepada para pelanggan mereka. Selisih harga 500 rupiah saja bisa memindahkan pelanggan ke pengecer lain.

Sekarang mari kita berandai-andai ! Sebuah perkumpulan pedagang pulsa bernama X yang semua membernya berdomisili dalam satu daerah kabupaten sedang gencar-gencarnya mensosialisasikan program “satu harga”, berhasil mengajak semua membernya untuk melakukan aksi jual “satu harga” 7000 dan 12000. Lalu dalam satu daerah kecil misalnya di sebuah gang terdapat 5 outlet pengecer pulsa, 4 diantaranya adalah member X sedangkan outlet yang satu non member. Karena 4 outlet lain menjual pulsa dengan harga 7000 dan 12000, sementara outlet yang satunya tetap menjual harga 6000 dan 11000 karena outlet tersebut merasa tidak terikat dengan aturan X. Mungkin dalam beberapa hari, keempat outlet member X belum merasakan pengurangan pembeli, namun dalam jangka panjang bisa dipasatikan sebagian besar pelanggan mereka akan pindah ke penjual termurah, dan outlet non member X pasti akan panen pelanggan baru. Alih-alih untung, 4 outlet member X tersebut malah buntung.

             Lalu akan timbul pertanyaan, apakah keempat member X bisa memaksa outlet yang bukan member X mengikuti harga sesuai aturan perkumpulan X ? Atau, apakah perkumpulan X bisa memaksa setiap outlet di wilayahnya untuk masuk dan mengikuti aturan perkumpulan X ? Silahkan pembaca jawab sendiri.
Lalu bagaimana bila ada member X yang tidak mau mengikuti aturan “satu harga”, apakah bisa dikenakan sanksi? Akan sulit sekali memberikan sanksi kepada pedagang, karena selain ikatan emosional, para member X sama sekali tidak memiliki ikatan perjanjian yang bisa memaksa mereka untuk mengikuti aturan yang diberlakukan oleh X.
Berbeda halnya dengan dealer, semua dealer mempunyai ikatan perjanjian dengan produsen. Ketika satu dealer melanggar aturan, maka produsenlah yang memberikan sanksi, sementara semua dealer bergantung kepada “kemurahan hati” produsen.

            Kita masuk ke “andai” berikutnya. Kita anggap saja perkumpulan X berhasil mengajak semua pedagang pulsa se kabupaten menjadi membernya, dan semua member ini patuh dengan aturan “satu harga” 7000 dan 12000. Dari pembahasan kita di atas, bisa ditarik satu kesimpulan bahwa clusterisasi dibuat untuk tujuan meraup keuntungan sebesar-besarnya bagi dealer.
            Setelah berhasil mengajak satu kabupaten, perkumpulan X melebarkan sayap ke kabupaten lain, propinsi lain, dan akhirnya pedagang pulsa se Indonesia sepakat dengan “satu harga” 7000 dan 12000 (saya tahu dalam hati anda sedang mengatakan “mana mungkin”). Tapi kita memang sedang berandai-andai jadi anggap saja mungkin. Kita lanjutkan ya….
Akhirnya semua pedagang pulsa merasa senang, walau hanya beberapa saat. Kenapa ? Dealer melihat harga pasar eceran sudah naik, saatnya mengambil keuntungan lebih, maka dealer sepakat menaikkan harga jual ke pengecer menjadi 6250 dan 11250. Sompret…. Mungkinkah ? Bisakah ? Bolehkah ? Kenapa tidak !!!! Dealer adalah pemegang hak monopoli penjualan pulsa Telkomsel. Mereka bisa melakukan apa saja demi meningkatkan keuntungan. Setahu saya, harga pembelian dari produsen ke dealer adalah nilai nominal dikurang 4 persen yang diberikan kepada dealer dalam bentuk “cash back”. Jadi harga pembelian dealer adalah 4600 dan 9600 dan tidak pernah naik, yang mungkin naik adalah biaya operasional, jadi bayangkan keuntungan yang mereka dapatkan bila menjual ke pengecer dengan harga 6250 dan 11250.

Pengecer tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa gigit jari, khayalan membeli mobil baru harus ditunda. Apakah masih mau buat aturan “satu harga” 8000 dan 13000 ???????

            Saat situasi seperti ini terjadi, siapa yang mau bertanggung jawab terhadap “tangisan” pedagang pulsa? Apakah para pengurus perkumpulan X sudah memsiapkan  solusinya? Atau akan lari membiarkan para pedagang meratapi nasib. Mari kita pikirkan bersama-sama, apa yang akan kita dapat dengan program “satu harga”.

Pasar yang baik adalah pasar dengan persaingan sempurna. Segala bentuk monopoli atau penetapan harga jual hanya akan menghancurkan pasar itu sendiri,  dan yang diuntungkan hanyalah pemegang hak monopoli. Untuk itu, pemerintah Republik Indonesia dengan tegas melarang praktek monopoli dan praktek penetapan harga, sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pelanggaran Hukum Harus Dilawan Dengan Hukum

Bisa dipahami, bahwa anjuran-anjuran di atas merupakan salah satu bentuk semangat juang dalam mencapai tujuan PPPSI yaitu “Menghentikan clusterisasi di bidang perdagangan pulsa seluler”, hanya saja mungkin caranya yang salah. Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman tentang clusterisasi. Banyak pihak masih memandang clusterisasi sebagai sebuah aturan yang sah karena dikeluarkan oleh produsen. Perspektif bahwa produsen boleh membuat aturan apa saja dalam memasarkan produknya menjadikan arah perjuangan menjadi tidak terkendali dan tidak terarah.

Bila kita memahami isi UU nomor 5 tahun 1999, di salah satu pasalnya disebutkan sebagai berikut :

Bagian Kesembilan
Perjanjian Tertutup
Pasal 15
(1)     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
(2)     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok.
(3)     Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
         a.   harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau
         b.   tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.

Bila kata “pelaku usaha” digantikan sebagai Telkomsel (produsen), “pelaku usaha lain” digantikan sebagai Dealer (Authorized Distributor) dan “pihak yang menerima barang dan atau jasa” digantikan sebagai Dealer (Authorized Distributor). Maka kalimat pada pasal 15 (1) di atas menjadi : Telkomsel (produsen) dilarang membuat perjanjian dengan Dealer (Authorized Dealer) yang memuat persyaratan bahwa pihak Dealer (Authorized Dealer) hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

“Pihak tertentu” dalam hal ini, sama dengan pedagang pulsa yang berada di luar wilayah cluster, dan “tempat tertentu” artinya wilayah di luar cluster.

Dari pasal 15 ayat (1) tersebut dapat kita pahami bahwa praktek membatasi wilayah pemasaran pulsa terhadap pedagang pulsa yang selama ini dijalankan oleh Telkomsel dan dealer-dealernya jelas melanggar hukum. Adalah hak pedagang untuk menjual pulsa Telkomsel kemana saja sepanjang dibeli dengan lunas, dan hak ini sangat dilindungi oleh undang-undang. Jadi tidak ada alasan bagi Telkomsel maupun dealer membuat cluster-cluster terhadap pedagang pulsa.

Apa Yang Bisa Kita Lakukan ?

Karena praktek clusterisasi adalah pelanggaran hukum, maka jalan terbaik untuk melawannya adalah dengan jalur hukum. Mari kita gunakan hak hukum kita dengan santun melalui prosedur yang ada. Kita harus menjadikan hukum sebagai panglima keadilan. Terlepas dari carut-marutnya penegakan hukum di negara kita, masih banyak pihak-pihak dan insan-insan jujur yang siap membantu kita. Walau mungkin tidak segampang menuliskan, tapi kita harus yakin, hukum masih ada di negara tercinta ini, tidak ada salahnya untuk mencoba.

            Dengan memahami praktek clusterisasi lebih dalam, kita bisa menemukan banyak celah untuk menghentikannya. Namun dibutuhkan kesabaran dan keberanian terlebih kekompakan sesama pengurus PPPSI, sehingga kita tidak perlu mengorbankan para pedagang pulsa dalam proses menghentikan praktek pelanggaran hukum ini.
Sumber daya manusia PPPSI cukup kuat, hanya kurang solid dalam menjalankan misi dan visi organisasi, sehingga terjadi perbedaan persepsi mengenai clusterisasi. Kita berharap para pimpinan PPPSI bisa kembali bersatu dalam berjuang, menyatukan hati, demi kepentingan masyarakat, terutama mengembalikan hak-hak pedagang pulsa di seluruh Indonesia.